Jumat, 14 Maret 2014

Sepi di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam

Perjalanan ke Brunei Darussalam saya lakukan melalui jalan darat dalam rangkaian trip saya mencoba menjelajahi pulau Borneo bagian utara. Dimulai dari Pontianak, Kalimantan Barat, saya menggunakan bus DAMRI menuju Bandar Sri Begawan. Perjalanan kurang lebih selama 26 jam, dimulai sekitar jam 7 pagi di Pontianak dan tiba di Bandar Sri Begawan sekitar pukul 10 pagi di hari berikutnya.

Perjalanan ini berlangsung pada bulan Oktober tahun 2013, dengan terlebih dahulu melewati perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong (yang mana saat itu Pos Imigrasi belum semegah saat ini). Kebanyakan penumpang adalah TKI yang kembali bekerja di Malaysia. Saya sempat berbincang dengan bapak di sebelah saya yang akan bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Hal mengejutkan rupanya penghasilan di negeri seberang tidak jauh berbeda dengan yang mereka dapat di Indonesia. Namun, kadang tidak ada pilihan lain karena mereka tidak mendapatkan pekerjaan di Indonesia.

Beberapa drama pemeriksaan TKI oleh pihak imigrasi di Malaysia dan Brunei juga saya rasakan. Para TKI mendapatkan perlakuan yang berbeda dan mendapatkan pemeriksaan yang lebih dibanding penumpang yang lain. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya kasus TKI ilegal. Dengan melihat perjuangan mereka secara langsung demi pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik terbersit rasa kagum pada kesabaran dan kegigihan mereka. Suatu hal yang mungkin tidak pernah saya rasakan sebelum perjalanan ini.

Pengalaman yang saya rasakan di Bandar Sri Begawan sangatlah berbeda dengan beberapa kota di Indonesia atau Asia Tenggara lain yang pernah saya singgahi. Suasananya sangat teratur dan cenderung sepi. Saya melihat beberapa pusat ekonomi dan bisnis yang sudah tutup pada pukul 4 sore hari. Tempat-tempat publik di sekitar dermaga di kota juga tidak begitu ramai. Tidak banyak objek menarik yang bisa saya lihat disini, namun sebagai pejalan kaki saya merasa sangat dihargai. Meskipun baru ancang-ancang untuk menyeberang, mobil-mobil yang akan lewat selalu memberikan kesempatan pejalan kaki untuk menyeberang terlebih dahulu tanpa diminta dan jarang sekali terdengar klakson antar mobil disini.

Sebagai orang yang terbiasa dengan hiruk pikuk kota Jakarta, suasana perkotaan yang sepi menjadi hal yang aneh bagi saya. Mungkin di salah satu negara terkaya di dunia ini, semua hal sudah tercukupi dan orang dapat hidup dengan mudah. Sebagai orang asing, itulah yang saya rasakan. Kota sudah bersih, teratur, dan disiplin. Hal yang mungkin sulit dicapai oleh ibukota negara lain. Namun, saya merasa kota ini tidak memiliki "soul" yang mungkin membuat orang asing ingin kembali ke kota ini.

“There’s something about arriving in new cities, wandering empty streets with no destination. I will never lose the love for the arriving, but I'm born to leave.”
― Charlotte Eriksson, Empty Roads & Broken Bottles; in search for The Great Perhaps


lapangan sepakbola di pusat kota yang sepi


sore hari di perkampungan air


suasana pulang kantor di kota BSB


pagi hari di pasar dekat dermaga


salah satu sudut kota yang sepi dan teratur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar